Senin, 01 Agustus 2011

PUASAMU, PERISAIMU ....

Semua orang perlu pertahanan. Semakin kuat pertahanan itu, semakin ia merasa aman.

Ada yang merasa aman dengan membangun rumah dari bahan yang kuat dan dengan jendela berteralis besi. Ada juga yang merasa aman dengan membangun pagar kokoh,tinggi, dan tertutup di sekeliling rumahnya.

Bahkan, ada pula yang merasa itu semua belum cukup membuat ia merasa aman. Masih perlu satpam untuk menjaga gerbang rumahnya agar tak semua tamu bisa masuk dengan mudah.

Itu semua rupanya belum membuat mereka sepenuhnya merasa aman. Sebab, kuman penyakit masih bisa dengan mudah menghampiri mereka.

Karena itu mereka mengonsumsi suplemen agar daya tahan tubuh meningkat. Ada juga yang meluangkan banyak waktu untuk pergi ke tempat-tempat kebugaran atau penyedia jasa terapi kesehatan.

Sudah merasa amankah mereka?

Belum! Meski mereka memiliki rumah yang kokoh, tubuh yang sehat, harta yang banyak, namun serangan musuh sejati manusia masih sangat mudah menembus semua pertahanan itu.

Celakanya, banyak di antara manusia menganggap musuh sejati ini bukan ancaman, melainkan teman.

Padahal, akibat yang mereka timbulkan sangat menyengsarakan. Manusia akan menyesal seumur hidup bila tak segera membangun perisai untuk membendung musuh yang satu ini.

Apakah perisai itu? Bukan baja penyanggah, atau raga yang perkasa, apalagi harta yang berlimpah, melainkan puasa!

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dalam beberapa riwayat Hadits, mengatakan, “Puasamu (adalah) perisaimu!”


Takenfrom"www.hidayatullah.com"


Jumat, 25 Desember 2009

ORIENTASI HIDUP

”Jika seorang manusia sudah memiliki dua lembah yang penuh berisi dengan harta, maka pasti ia akan mencari lembah yang ketiga. Dan tidak akan pernah manusia merasa kenyang hingga tanah sudah kena pada perutnya.”

- Al-Hadits –

Dalam kehidupan di era teknologi digital yang serba canggih dewasa ini, kecenderungan yang merasuki banyak manusia adalah hidup mengejar kesuksessan dalam karier, hidup dan bisnis setinggi-tingginya. Menjadi sukses dalam karier, hidup dan bisnis telah menjadi tujuan utama banyak manusia, apapun paradigma kesuksesan itu baginya. Kebanyakan manusia — apa pun suku bangsa, kedudukan, jabatan, maupun agamanya– menempatkan ukuran kesuksesan hidupnya melalui ukuran penguasaan materi atau harta benda.
Keinginan kuat setiap individu untuk menjadi sukses dan berhasil meraih kekayaan materi atau harta adalah sesuatu yang penting. Begitu pentingnya memiliki kekayaan harta atau materi ini, maka Imam Al-Ghazali mengibaratkan, “orang yang mencari kebaikan tanpa harta ibarat orang pergi ke hutan tanpa membawa senjata atau ibarat burung elang tak bersayap”. Karena materi merupakan sarana penting dalam mencapai berbagai tujuan kebaikan. Materi juga memiliki peranan penting pula dalam upaya manusia meningkatkan kualitas hidup maupun dalam upaya manusia meningkatkan amalan ibadahnya.
Yang menjadi masalah adalah, begitu sibuknya manusia mengejar kekekayaan materi duniawi ini, seringkali menjadikan mereka melupakan hakekat kehidupan dan hakekat kekayaan sejati yang abadi. Mereka menempatkan pusat orientasi hidupnya pada kesuksesan penguasaan materi, bahkan sampai mendewakan materi. Mereka mengejar keberhasilan materi dengan tidak memperdulikan aturan hukum alam dan cenderung memutarbalikan hukum alam. Kecenderungan seperti inilah yang salah dan harus diluruskan kembali

Manusia yang hanya menempatkan orientasi hidup pada nilai-nilai duniawi semata, mereka akan menjadi manusia yang tidak pernah merasa puas dengan apa yang dikuasainya. Mereka ingin menambah dan menambah terus. Ini sama halnya dengan jabatan atau kekuasaan yang telah mereka dapatkan. Ketika mereka memiliki kekuasaan atau jabatan maka cenderung selalu ingin dipertahankan, walaupun, misalnya, sudah tidak memiliki kemampuan melaksanakannya ataupun sudah terlalu banyak kesalahan yang pernah dilakukannya.
Lantas bagaimana agar kita tidak terjebak dalam jeratan orientasi salah dalam hidup yang hanya berpusat pada materi duniawi ? Bagaimana kita menyikapi kehidupan yang penuh persaingan tanpa terjebak dalam kesalahan paradigma tentang kekayaan materi ? Berikut aka nada beberapa penjelasan mengenai hakekat kehidupan.

A.Hakekat hidup sejati

Begitu sibuknya manusia modern mengejar kekayaan materi duniawi seringkali salah dalam memahami hakekat hidup sejati. Ada aturan hukum alam yang mengatur mengenai hakekat “hidup sejati” dengan “akibat yang diterima” dari hidup sejati. Apa itu hakekat hidup sejati dan akibat yang diterima dari kehidupan ? Hidup sejati adalah inti, yang seharusnya dikerjar lebih dulu oleh manusia. Sedangkan akibat yang diterima adalah hasil yang akan datang dengan sendirinya.
Ilustrasi sederhananya adalah, kalau Anda seorang karyawan maka berusahalah menjadi “karyawan sejati” yang menjunjung tinggi profesionalisme dan nilai-nilai spiritual kebenaran lebih dulu. Kekayaan uang atau materi adalah “akibat” dari hasil menjadi karyawan sejati. Kalau anda menjalankan usaha, maka berusahalah menjadi pengusaha sejati yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran lebih dulu. Sedangkan profit atau keuntungan materi berlimpah adalah akibat yang akan didapatkan dengan menjadi pengusaha sejati. Demikian juga dengan profesi lainnya. Dahulukan menjalani hakekat hidup sejati.
Janganlah lebih dulu mengejar kekayaan uang, lebih dulu menginginkan gaji yang tinggi, tanpa berusaha menjalani hidup sejati. Ini namanya memutarbalikan aturan hukum alam yang berarti hukum Allah. Inilah yang menyebabkan banyak orang melakukan berbagai penyimpangan, penyelewengan, korupsi, penipuan demi mendapatkan tujuannya untuk keberhasilan materi dan kekayaan, yang harusnya adalah akibat yang diperoleh kemudian dari hidup sejati. Akibatnya tatanan kehidupan bermasyarakat dan berbangsa menjadi rusak dan dilanggar begitu saja, seperti apa yang kita rasakan sekarang ini.

B. Kekayaan spiritual
Dalam mengejar kekayaan materi, keberhasilan duniawi sebaiknya selalu mengimbangi dengan kekayaan spiritual. Berusahalah terus meningkatkan diri dalam mengisi kekayaan spiritual diri kita. Karena kekayaan spiritual ini akan mampu mengendalikan dan mengisi setiap kehidupan manusia dengan sifat senantiasa bersyukur dan merasa puas. Dalam pengertian sederhana, bisa mensyukuri terhadap apa yang sudah diperolehnya. Sifat syukur ini merupakan manifestasi dari suara hati spiritual, sehingga dapat menjadikan terminimalisasinya sifat serakah, tamak, rakus dan merusakan tatatan hukum kehidupan.
Hakikat kekayaan itu bukanlah semata-mata banyak harta yang dikuasai, akan tetapi terletak pada kekayaan spiritual yang dimiliki. Orang yang memiliki kekayaan spiritual tidak akan pernah dikendalikan dan dikuasai oleh materi, jabatan, dan kedudukan, akan tetapi justru hal-hal tersebutlah yang dikendalikan dan dikuasainya. Semuanya itu hanyalah merupakan alat untuk mengaktualisasikan fungsi kekhalifahannya yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan bagi masyarakat banyak.

C. Berdamai dengan ketentuan Allah
Berdamai dengan ketentuan Allah artinya, dalam mengejar keberhasilan hidup dunia dan kekayaan materi senantiasa mengikuti aturan hukum Allah. Tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah yang sudah dituangkan dalam kitab suci-NYA serta dapat berdamai menerima segala ketentuan-Nya. Kemampuan berdamai dengan ketentuan Allah dapat mengarahkan manusia untuk merasa puas atas rahmat Allah. Ini adalah sikap spiritual dan perilaku rohaniah yang menjadi kekayaan sejati yang tidak akan pernah habis. Manusia yang mampu memiliki sifat mampu menerima ketentuan Allah, dapat berpuas diri dengan hasil perjuangannya, dapat melahirkan pribadi yang tenang, memiliki sikap yang cerdas dan tentu saja pandai bersyukur terhadap segala nikmat Allah SWT yang diberikan kepadanya.

D.Tiga Orientasi Hidup

Paling tidak terdapat tiga orientasi hidup manusia. Pertama, golongan yang secara khusus mengonsentrasikan dirinya untuk beribadah sehingga ia tidak peduli dengan urusan-urusan duniawi. Cara beragama seperti ini banyak dijalani oleh para sufi. Kehidupan mereka hanya digunakan untuk beribadah, berzikir, memohon ampun kepada Allah Swt. Tak ada urusan yang mereka lakukan kecuali yang berhubungan dengan ibadah dan kehidupan akhirat. Bahkan golongan ini cenderung memusuhi dunia. Harta benda dipandang sebagai penghalang dan melalaikan ibadah. Karena kekhusyuannya dalam beribadah, mereka tidak lagi sempat mencari nafkah hidup. Bukan hanya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dengan cukup, untuk kebutuhan dirinya pun seadanya.
Kedua, golongan yang terlalu disibukkan dengan urusan duniawi. Mereka lupa ibadah kepada Tuhan. Urusan-urusan duniawi telah melalaikannya berzikir. Karena orientasinya duniawi, tak ada yang dipikirkan kecuali urusan untung rugi, berapa income perusahaan, dan lain sebagainya. Setiap peluang tak pernah disia-siakan. Mereka tak peduli lagi halal-haram. Tak peduli hasil korupsi atau manipulasi. Semua itu dijalani hanya untuk menumpuk-numpuk harta, demi kemegahan hidup dan kekaguman orang lain terhadap dirinya. Pola hidup ini pernah dilakoni oleh Karun.
Dengan sombong ia berkata: tidak ada yang kumiliki dari harta ini kecuali karena ilmu yang aku miliki (QS Al-Qashash [28]: 78).
Ketiga, golongan yang memilih keseimbangan “waktu” untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Mereka sadar bahwa hidup ini akan ada akhirnya, dan tidak ada yang bisa dijadikan bekal hidup di alam yang kekal itu kecuali amal saleh. Mereka juga sadar apa yang mesti dijalani selama hidup di dunia ini. Mereka tahu bahwa Tuhannya memerintahkan agar mencari karunia dunia sehingga ia bisa merasakan bahagianya hidup di dunia. Hari-hari mencari duniawi itu dijalani dengan penuh kesabaran dan ketawakalan. Mereka sangat hati-hati, sehingga bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram. Kewajiban salat lima waktu, puasa, zakat, dan ibadah-ibadah lainnya, menjadi bagian penting dalam aktivitas sehari-harinya.

E. Berlebihan dalam Beragama

Dari tiga orientasi hidup di atas, ada sebagian orang yang beragama secara berlebihan. Menurut Muhammad Az-Zuahili dalam bukunya Moderat dalam Islam (2005), sikap berlebih-lebihan dalam beragama itu paling tidak karena dua faktor.
Pertama, tamak. Pada dasarnya sikap ini merupakan insting atau fitrah yang ada pada diri manusia. Mengharapkan cepatnya meraih yang disukainya dan yang diusahakannya termasuk dari sekian banyak sifat manusia. Orang yang tamak cenderung menambah sarana-sarana baru dalam beribadah yang berasal dari dalam jiwanya, hawa nafsu dan akalnya dengan tujuan agar hal tersebut dapat mendekatkan kepada tujuan. Orang tamak juga mempunyai anggapan bahwa jalan yang ia tempuh adalah manhaj yang lurus, jalan yang benar, sarana satu-satunya, dan sarana yang kokoh untuk meraih apa yang ada di sisi Allah. Dia beranggapan bahwa orang di luar diri dan golongannya kurang atau berada di bawahnya dalam hal beramal. Jika sikap beragama yang tamak ini terorganisasi, maka akan terbentuk komunitas ekstrim.
Kedua, dosa dan kesalahan. Dosa dan kesalahan masa lalu akan menjadi pendorong sikap berlebih-lebihan dalam beragama karena perasaan khawatir terhadap masa lalu yang kelam. Juga khawatir terhadap akibat-akibat dari dosa dan amalan-amalan buruk yang telah dilakukannya pada usia mereka yang telah berlalu serta dosa-dosa yang telah dilakukan oleh tangan-tangan mereka. Kekhawatiran dan penyesalan akan dosa-dosa itu kemudian diikuti dengan usaha menghapus dosa dalam waktu cepat. Karena terlalu tergesa-gesa dengan harapan dosa agar cepat terhapus, mereka keliru menemukan jalan yang normal. Mereka berusaha membuat tambahan dalam agama, bersikap kaku dalam menjalankan hukum-hukum, keras dalam beribadah, dan melewati batasan yang telah digariskan dalam menjalankan pembebanan hukum.

Dua hal tersebut akan mengakibatkan sikap beragama mengarah ke arah radikal, kaku dan berlebih-lebihan dalam akidah dan hukum-hukumnya. Sikap berlebih-lebihan dalam beragama adalah suatu penyakit yang membahayakan. Sikap itu diharamkan dan dilarang menurut syariat. Sikap tersebut dapat mendatangkan akibat-akibat buruk pada masa lalu, sekarang, dan masa mendatang, bagi individu, umat, dan masyarakat. Juga bisa berakibat buruk pada akidah, syariat, hukum, pemikiran, serta perilaku dan tindakan.
Rasulullah telah menjelaskan kepada kita akan bahaya-bahaya sikap berlebihan dalam berperilaku dan hal itu dapat mengantarkan kepada kebinasaan. Rasulullah Saw bersabda, “Hai umat manusia, hindarilah sikap berlebih-lebihan dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kalian telah dibinasakan oleh sikap berlebih-lebihan dalam beragama,” (HR Ahmad dan Nasai). Melalui hadis ini, Rasulullah mengingatkan kepada para sahabat dan kita umatnya agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam beragama, baik dalam beribadah maupun perilaku sehari-hari.

F.Beragama dengan Seimbang

Dalam mengekspresikan keberagamaan, Islam sangat menekankan kewajaran. Islam tidak menyukai hal-hal yang berlebihan. Rasulullah sendiri sebagai panutan agung kaum Muslim memberikan contoh yang wajar dan sederhana dalam menjalani ibadah. Dalam sebuah hadis, Beliau bersabda, “Ingatlah, sesungguhnya aku ini tetap berpuasa dan berbuka, salat malam dan tidur, dan aku juga menikahi wanita-wanita. Barangsiapa yang tidak menyukai sunahku, maka tidak termasuk golonganku,” (HR. Bukhari-Muslim).
Sikap wajar dan sederhana dalam beribadah yang dicontohkan Rasulullah Saw ini sesuai dengan anjuran ajaran Islam pada umumnya mengenai keseimbangan hidup untuk urusan duniawi dan ukhrawi. Dalam Al-Quran dijelaskan, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,” (QS Al-Qashash [28]: 77).
Ayat tersebut menegaskan perlunya keseimbangan menjalani hidup sekaligus, baik untuk urusan duniawi maupun ukhrawi. Itu merupakan aturan Islam yang sempurna mengenai ketaatan dan ibadah, serta gambaran mendetail mengenai alam, kehidupan, dan manusia. Hal tersebut juga pernah dipraktikkan oleh Rasulullah Saw dalam bentuk yang nyata dan sangat jelas dengan sunahnya. Islam menganggap bahwa setiap amalan yang dimaksudkan untuk mendapatkan ridha Tuhan sebagai ibadah. Dengan demikian, seseorang akan selalu dalam lingkup ibadah kapan saja dia meniatkan amalan-amalan dan tindakan-tindakannya demi mencari keridhaan Tuhan.
Jika kita telah beragama dengan seimbang, niscaya kita akan menjalani hidup ini dengan tenang, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat. Sehingga, tidak kita dapati lagi sebagian orang yang memaksakan kehendaknya, mengkafirkan saudaranya, melakukan aksi kekerasan dan terorisme. Dengan keseimbangan hidup ini, kita dapat membangun kembali potensi umat dan menjadi rahmatanlil’alamin.
Wallahualambishawab.

KESIMPULAN

Dalam menjalani kehidupan didunia ini hendaknya kita lebih berorientasi kepada akhirat, hal itu karena segala yang di dunia ini hanya sementara saja dan jika kita terus mengikuti kebutuhan dunia maka tidak akan pernah terselesaikan, untuk itu hendaknya sebagai seorang muslim hendaknya memahami hakekat kehidupan yang sejati yaitu mengejar kebahagiaan akhirat dan tidak semata-mata mengejar harta saja.
Kemudian senantiasa berdamai dengan keteneuan Allah, yaitu mensyukuri sagala yang kita punya sehingga senantiasa merasa bahagia dalam menjalani hidup.Mengorientasikan hidup untuk menjalankan perintah-perintah Allah juga yang harus dilakukan untuk mencapai kebahagiaan kehidupan di dunia dan di akhirat nantinya.Selain itu kita juga harus seimbang dalam beragama dan bermasyarakat sehingga terjadi keharmonisan antara keduanya

Jumat, 03 April 2009

MIMPI HARI INI adalah KENYATAAN HARI ESOK

Saudaraku,
Janganlah engkau putus asa, karena putus asa bukanlah akhlak seorang muslim. Ketahuilah bahwa kenyataan hari ini adalah mimpi hari kemarin, dan impian hari ini adalah kenyataan di hari esok. Waktu masih panjang dan hasrat akan terwujudnya kedamaian masih tertanam dalam jiwa masyarakat kita, meski fenomena-fenomena kerusakan dan kemaksiatan menghantui mereka. Yang lemah tidak akan lemah sepanjang hidupnya dan yang kuat tidak akan selamanya kuat.

Allah swt. berfirman,
"Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir'aun dan Haman serta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu." (Al-Qashash: 5-6)


Putaran waktu akan memperlihatkan kepada kita peristiwa-peristiwa yang mengejutkan dan memberikan peluang kepada kita untuk berbuat. Dunia akan melihat bahwa dakwah kita adalah hidayah, kemenangan, dan kedamaian, yang dapat menyembuhkan umat dari rasa sakit yang tengah dideritanya. Setelah itu tibalah giliran kita untuk memimpin dunia, karena bumi tetap akan berputar dan kejayaan itu akan kembali kepada kita. Hanya Allah-lah harapan kita satu-satunya.

Bersiap dan berbuatlah, jangan menunggu datangnya esok hari, karena bisa jadi engkau tidak bisa berbuat apa-apa di esok hari.

Kita memang harus menunggu putaran waktu itu, tetapi kita tidak boleh berhenti. Kita harus terus berbuat dan terus melangkah, karena kita memang tidak mengenal kata "berhenti" dalam berjihad.

Allah swt. berfirman,
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, sungguh akan Kami tunjukkan jalan-jalan Kami. "(Al-Ankabut: 69)

Hanya Allah-lah Dzat yang Maha Agung, bagi-Nya segala puji.